Rabu, 12 Desember 2012

Buku Harian Bani

oleh: Gatot Tri R.

Bani, adik saya satu-satunya, jam 10 pagi tadi mengalami kecelakaan di jalan tol. Mobilnya terserempet truk peti kemas yang hendak mendahuluinya dari arah kiri. Sisi kanan truk menyeruduk bagian belakang mobil SUV yang dikendarai adik saya. Alhasil, mobil adik saya hilang keseimbangan dan menabrak pagar marka jalan tol sebelum beberapa kali berputar dan berhenti terbalik di tengah jalan. Bani tewas seketika di sana. Bahkan kabarnya perlu waktu lama untuk mengeluarkan tubuhnya dari mobil.

Ibu menelepon ke ponsel saya setelah makan siang. Saya segera minta ijin kepada atasan saya dan bergegas dari kantor menuju bandara. Untungnya ada pesawat yang hendak berangkat jam 13.30. Syukurlah masih tersisa beberapa kursi sehingga saya bisa segera sampai ke rumah.

Ketika saya tiba, rupanya mendiang adik saya sudah dikebumikan jam tiga tadi. Sejujurnya saya kecewa karena saya tidak dapat melihat wajah adik saya untuk yang terakhir kalinya. Tapi saya berusaha untuk tetap tenang dan mengikhlaskan kepergiannya. Ibu saya yang duduk di kursi makan sedari tadi tidak jua berhenti menangis, begitu kata budhe. Saya menghampiri ibu dan memeluknya. Melihat saya ia menjadi lebih tenang, tangisnya mereda. Saya membimbingnya untuk masuk ke kamar agar beristirahat.

Di ruang depan, para pelayat tak henti-hentinya datang. Kerabat dekat dan jauh, tetangga sekitar kompleks, serta kawan-kawan Bani. Tapi ibu sudah lelah baik fisik maupun psikis. Maka, pakdhe dan budhe yang bergantian menyambut mereka. Ibu saya tinggal di kamarnya, sendiri. Ayah sudah lebih dulu meninggalkan kami empat tahun lalu.

Saya lalu naik ke lantai dua meletakkan tas backpack saya di sofa ruang keluarga. Pandangan saya tertuju pada pintu kamar Bani yang berdekatan dengan ruang keluarga. Entah ada perasaan saya ingin masuk ke sana. Saya buka gagang pintu dengan perlahan. Cahaya redup petang hari menerobos masuk lewat jendela di sisi depan saya. Saya berjalan ke arah jendela dan menutup tirai, lalu menyalakan lampu. Saya melihat sekeliling kamar, sunyi. Pintu kamar saya biarkan terbuka. Saya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Baru minggu lalu saya bertemu Bani, mengajaknya berbelanja buku-buku kegemarannya dan makan siang di restoran favorit kami. Ternyata itu adalah perjumpaan kami yang terakhir. Tuhan... ia baru saja menginjak usia 20 tahun.

Tiba-tiba saya merasakan kesepian yang amat dalam. Ruangan ini pernah menjadi kamar kami hingga saya tamat SMP. Ayah lalu membuatkan kamar baru untuk saya sendiri di belakang.

Di atas meja Bani, tersusun beberapa buku bersampul hardcover berwarna hijau. Saya sejenak terpaku memandang deretan buku-buku itu. Lalu saya bergerak perlahan ke arah meja yang sehari-hari menjadi tempat Bani mengurai kata. Ia memang seorang penulis yang karya-karyanya tersebar di berbagai media massa, termasuk empat novel yang telah diterbitkan oleh sebuah penerbit.

Deretan buku-buku tebal bersampul hijau itu ternyata adalah catatan harian Bani, tempat ia menuangkan kisah hidupnya setiap hari. Saya mengambil salah satu buku, yang kedua dari ujung kanan. Tertera di bagian sampul tahun 2007. Saya buka bagian yang telah diberi pembatas buku. Catatan dua hari yang lalu, sehari sebelum kematiannya. Lalu saya buka lembar-lembar lainnya. Beberapa bagian bercerita tentang Alia, adik seorang kawannya. Ia jatuh cinta padanya. Memang beberapa kali ia curhat kepada saya lewat email. Bagian yang berbau romantika ini saya lewatkan.

Saya kembalikan lagi buku harian tahun 2007 ke susunan semula. Saya menarik kursi untuk duduk. Lalu saya ambil sebuah buku lagi kali ini yang paling ujung. Tahun 2008, catatan-catatan beberapa bulan sebelum ia meninggal. Lembar demi lembar saya baca secara sekilas. Kadang saya bolak-balik lembar buku itu untuk mencari tahu peristiwa yang terjadi sebelumnya yang saling berkaitan.

Ada beberapa tulisan yang menurut saya aneh. Misalnya catatan tanggal 12 April ini:

… Dini hari tadi sekitar jam satu ada ada sinar terang bergerak di luar rumah. Aku keluar kamar memanggil ibu tapi ibu tidak menyahut, sepertinya ibu masih tertidur pulas. Kamarnya terkunci. Aku ketuk kamar Simbok sambil memanggil-manggil, sama saja. Ada suara ribut seperti suara mendengung yang makin lama makin keras. Listrik padam sejak jam sembilan. Hujan turun tidak begitu lebat. Pas aku balik lagi ke kamar, tiba-tiba semburat cahaya terang menerobos jendela memenuhi ruangan. Aku merasa takut. Aku ingin ke ranjang tapi tiba-tiba tubuhku tidak dapat bergerak sama sekali. Maksudku berteriak tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku sangat bingung apa yang terjadi malam itu. Mulutku komat-kamit menyebut kalimat doa... Jujur saja semalam aku sangat takut…

Tanggal 14 April, rupanya ia membahas peristiwa malam itu kepada ibu dan simbok. Mereka berdua tidak mendengar sama sekali ketukan pintu Bani. Ibu tidak memgunci kamar tidurnya. Mereka juga tidak mendengar ada suara mendengung keras di halaman belakang rumah. Mungkin karena mereka sangat lelah setelah seharian membuat kue pesanan Bu RT untuk acara sunatan anaknya.

Ada catatan lain tanggal 8 Mei:

… Senangnya… Berboncengan dengan Alia ke pesta pernikahan kawannya. Di tengah jalan, Alia menepuk pundakku. Ia bilang ada cahaya aneh di langit bergerak mengikuti kami. Aku bilang mungkin itu pesawat. Ia bilang bukan. Tidak ada suara pesawat. Ia menyuruhku melihat ke arah cahaya itu. Aku memperlambat laju motor sambil menoleh ke langit, ke arah yang ditunjuk Alia. Ya, memang ada cahaya yang cukup terang sih, tapi lumayan jauh di atas sana. Aku bilang mungkin saja itu pesawat atau awan yang membiaskan cahaya bulan. Waduh… ban motor kempes. Sial.. Untung ada tukang tambal ban yang masih buka di ujung jalan…

Panggilan budhe sejenak mengejutkan saya. Beliau minta saya menemui beberapa kawan saya yang datang melayat. Setelah beberapa waktu, kawan-kawan saya berpamitan. Saya kembali ke kamar Bani meneruskan membaca buku hariannya.

Catatan tanggal 22 Juni ini agak membuat saya merinding. Nampaknya ia mengalami kejadian yang cukup mengguncang dan selama ini tidak pernah ia sampaikan kepada saya.

… Astaga, orang asing masuk ke kamarku ini. Badannya tinggi kurus, kulitnya berwarna putih, rambutnya pirang panjang lurus sebahu, kedua matanya sipit dengan kedua ujung yang agak tertarik ke atas, mulutnya kecil. Orang asing itu memakai baju merah seperti jubah berkerah tinggi. Ia berdiri di dekat jendela. Ada sinar terang di belakangnya membuat saya silau. Waktu itu jam sebelas malam dan aku masih menulis artikel. Tiba-tiba listrik padam. Aku cari-cari lampu senter di laci meja. Ketemu. Tapi enggak lama, listrik menyala kembali. Rasa lega mendadak berubah menjadi kaget setengah mati ketika sadar bahwa ada sosok asing di sisi jendela. Aku bangkit dengan cepat dari kursi sambil membawa mistar besi, maksudku aku pakai sebagai senjata. Tiba-tiba tubuhku kaku. Aku tidak bisa menggerakkan badan sama sekali, meskipun aku berjuang dengan sekuat tenaga. Hanya mataku yang bisa aku gerakkan. Nafasku tersengal-sengal. jantungku berdegup kencang dug, dug, dug.. Sosok asing itu lalu menghampiriku. Aku ingin berteriak tapi tidak bisa. Badanku sama sekali tidak bisa bergerak. Ya, Tuhan… manusia apa itu gerangan? Ia diam saja. Ia menunjukkan telunjukknya ke arahku. Tiba-tiba aku bisa menggerakkan tubuhku, tapi sekaligus membuatku… pingsan?? Ya, aku rasa aku pingsan selama beberapa saat lamanya. Aku terbangun menjelang subuh. Rupanya aku terbaring di lantai kamar…

Lalu saya buka-buka lagi lembar berikutnya. Tanggal 27 Juni rupanya ditujukan untuk saya.

Kalau aku cerita tentang apa yang aku alami ke Mas Banu pasti aku dianggap sinting. Meski teman-temannya menilai Mas Banu orang yang sabar dan pendiam, kadang kalau emosinya meledak, aku bisa dibilang gila, sinting, tolol dan semacam itu. Tidak, tidak, Mas Banu jangan sampai tahu aku mengalami peristiwa-peristiwa aneh. Mas Banu orang paling rasional yang pernah aku kenal. Semuanya mesti bisa dijelaskan. Kadang aku merasa harus cerita tapi aku kuatir debat sama Mas Banu hanya akan menaikkan emosinya saja...

Saya mendehem pelan dan mengucap kata maaf. Saya memang sering meluap-luap ketika emosi tidak tertahankan lagi. Dan sering saya melontarkan kata-kata tidak pantas kepada Bani ketika ia melakukan sesuatu yang tidak saya kehendaki. Ketika kami berdebat dan saya tidak menyetujui pendapatnya, atau ketika ia lupa mentransfer sejumlah tagihan rumah tangga, saya sering marah dan sering terlontar kata-kata itu.

Saya meneruskan membaca lembar berikutnya. Tanggal 28 Juni.

... Hari ini aku ngenet lumayan lama hanya untuk mencari jawaban pengalaman aneh yang aku alami. Kayaknya ini ada hubungannya sama UFO dan alien atau semacam itu. Aku tidak tahu dan pasti akan cari tahu lagi di lain waktu. Masih penasaran. Semoga malam ini mereka tidak datang lagi.

UFO? Alien? Saya tidak percaya omongan sampah semacam itu. Itu kan fantasi orang Hollywood saja. Lagipula mengapa Bani tidak pernah bicara mengenai hal ini? Biasanya ia akan cerita tentang apa saja yang ia kerjakan atau apa yang ia alami sehari-hari kepada saya. Biasanya ia akan cerita baik lewat email atau SMS. Ia merahasiakan sesuatu...

Lembar berikutnya, yang berisi tentang pengalaman anehnya didatangi sosok aneh, muncul beberapa hari berikutnya dan saya baca sekilas saja. Namun yang tanggal 12 Juli ini membuat saya tergerak untuk membacanya.

Makhluk asing datang lagi pas aku di ranjang membaca buku Digital Fortress-nya Dan Brown. Aku setengah bangkit, menyangga tubuhku dengan kedua siku tanganku. Kali ini lain dari biasanya. Tubuhku tidak lumpuh. Mereka datang menembus jendela kamarku. Aku merasa takut tapi sekaligus penasaran siapa sebenarnya sosok yang mendatangiku. Kali ini sosok tinggi kurus berambut pirang itu tidak sendiri. Ia datang bersama dua sosok yang sama yang berada di belakangnya? Pengawalnyakah? Wajah mereka terlihat mirip, seperti kembar saja. Tinggi mereka sama dan pakaian berjubah mereka juga sama. Sosok yang di depan seperti menyunggingkan senyum. Sinar kuat di belakang mereka meredup dan kini aku bisa melihat mereka dengan jelas. Aku terpana memandang mereka. Sosok yang di depan membawa sesuatu di tangannya. Seperti kaca mata berbentuk lingkaran dengan bingkai dan lensa yang tebal. Bingkainya nampaknya terbuat dari bahan logam berwarna metalik. Di bagian tepi bingkai ada beberapa abjad yang tidak aku pahami. Seperti abjad hiroglif. Ia memutar sebentar bingkainya dan bergerak ke arahku. Aku diam saja ketika sosok itu memasangkan kacamata itu ke wajahku. Oke, aku sudah memakainya tapi tidak melihat sesuatu yang beda. Mereka masih di kamar ini. Tapi kemudian, sosok yang di depan itu menarik tangan kiriku agar bangkit. Ia mengajakku ke jendela. Kali ini aku sangat dekat menatap wajahnya yang putih itu. Ia menggerakkan tangan kanannya ke arah atas. Aku menurut seraya membuka tirai. Well, diary, apa yang aku lihat sangatlah indah. cahaya berkelap-kelip menempel di pesawat... oh, apakah ini UFO yang sering dilihat orang-orang itu? Oh Tuhan, ternyata UFO benar-benar ada dan aku melihatnya dengan jelas sekarang. Oii, sangat cantik, melayang tidak begitu tinggi sepertinya hanya beberapa meter saja di atas rumah ini. Tapi ketika aku membalikkan badanku, ketiga sosok misterius itu sudah tidak ada. Kemana mereka? Lalu aku balik melihat langit. UFO itu sudah tidak ada... Kacamata ini sepertinya cenderamata buatku...

Kacamata untuk melihat UFO? Kekonyolan Bani macam apa lagi? Tapi saya enggan memikirkannya dan memutuskan untuk membalik lembar demi lembar berikutnya. Tanggal 16 Juli.

Aku baru ingat punya kacamata ajaib. Hari ini pas ke kampus aku bawa kacamata itu. Di jendela toilet kampus, aku kenakan kacamata itu. Dari lantai empat aku bisa melihat pesawat berbentuk seperti kue serabi di seberang sana, sepertinya pesawat aneh itu ada di atas gedung balai kota. Lalu, di lantai paling atas di cafe di gedung bank tempat Risa bekerja, aku bisa melihat tidak hanya satu UFO tapi empat UFO di kota ini. Mereka melayang diam agak lebih tinggi di atas sana. Aku berpikir sedang apa mereka di kota ini? Beberapa jam aku di sana sampai-sampai Risa penasaran aku sedang mengerjakan apa sih? Hehe, untung aku suka buat sketsa jadi aku bilang ke Risa aku sedang ingin menggambar kota dari atas gedung. Tentu saja Risa percaya karena aku memang menggambar kota dari situ. Tidak lama pesawat aneh itu membumbung ke atas dan melesat cepat menghilang di balik awan-awan...

Saya menutup buku hariannya. Dimana kacamata itu sekarang? Mengapa Bani tidak pernah cerita kepada saya? Saya bangkit dari kursi dan membuka laci-laci meja kerjanya. Tidak ada. Begitu juga almari pakaiannya. Saya buka laci almari, saya bongkar baju-bajunya. Tidak ada. Saya angkat kasurnya hanya ada beberapa lembar uang. Semua tempat di kamarnya saya telusuri namun benda itu tidak saya temukan.

Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu.

Saya terkejut dan menoleh ke arah pintu. Simbok. Ia membawa tas backpack Bani. Ia mengangsurkan tas itu kepada saya. Saya menarik backpack itu. Ada sejumlah bercak darah Bani. Simbok merasa heran atas kelakukan saya. Saya buru-buru minta maaf kepadanya. Ia pergi, seakan memaklumi sikap saya dan ibu saya pasca meninggalnya Bani. Saya buka tas backpack-nya dan menuang semua isinya di atas ranjang. Astaga, itu dia kacamata itu. Tangan saya gemetar merengkuh benda yang teronggok diantara beberapa barang lain yang telah berserakan di atas ranjang.

Benda itu dingin. Meski terlihat berat dan kokoh apalagi dengan lensa setebal itu, kacamata ini sangat ringan. Aku lalu berjalan ke arah jendela seraya perlahan meletakkan kacamata itu di wajah saya. Tidak ada sesuatu, tidak ada UFO di atas sana. Tidak ada sesuatu seperti yang dilihat Bani. Lalu saya keluar kamar ke dak jemuran agar penglihatan saya lebih lapang. Hari telah beranjak gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan dan semburat sinar matahari sudah hendak beristirahat di ufuk barat sana.

Sama saja. Saya tidak melihat apa yang Bani maksud sebagai UFO. Atau mungkin saat ini mereka tidak sedang tidak di sini? Saya melepas kacamata itu dari wajah saya. Saya timang-timang benda itu. Ada beberapa huruf semacam... ya, semacam huruf hiroglif atau aksara kuno yang tidak saya pahami. Kedua bingkainya bisa diputar-putar. Tapi setiap saya putar dan saya pasangkan lagi ke mata saya, saya tidak dapat melihat UFO. Lensa kacamata ini sangat tebal. Tadinya saya mengira kacanya seperti lensa pembesar tapi ternyata tidak. Lensanya tidak memperbesar apapun. Berkali-kali saya putar bingkainya tapi semuanya terlihat sama saja. Tidak ada UFO yang bisa saya lihat. Sepertinya hanya Bani yang tahu cara memakainya dan ia tidak menuliskan caranya.

Saya masih berada di dak jemuran menggenggam kacamata itu. Desir angin senja hari menerbangkan daun-daun pohon angsana yang telah menguning. Saya berdiri di sana menatap sisa-sisa pendaran cahaya matahari di ufuk sana hingga lenyap seluruhnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar