Rabu, 30 September 2009

Sang Pendongeng


Penulis: Saki (Hector Hugh Munro)

Pengantar:
Cerpen ini salah satu cerpen favorit saya. Cerpen yang unik; ending-nya yang mengejutkan membuat saya merenung betapa menantangnya tugas orang tua dalam mendidik anak. Cerpen ini seakan menjadi secuil bekal di relung-relung otak saya bersama dengan nilai-nilai lainnya yang pernah meresap di sana jika kelak saya memiliki anak. Tapi walaupun belum memiliki anak, saya sudah memiliki tiga keponakan yang beberapa tahun mendatang pasti akan banyak bertanya seperti tiga anak kecil dalam cerpen ini. Saki atau Hector Hugh Munro merupakan salah satu penulis besar Inggris yang hidup tahun 1870 hingga 1916.

Selamat membaca.

======================================================
SANG PENDONGENG
oleh: Saki (Hector Hugh Munro)


Sore yang panas itu, serangkaian kereta api berjalan melintasi rel di tengah terik. Pemberhentian berikutnya adalah stasiun Templecombe, kira-kira satu jam kemudian. Penumpang di salah satu kompartemen ialah seorang gadis kecil, lalu seorang gadis yang lebih kecil lagi, dan seorang anak laki-laki. Bibi mereka duduk di sebuah kursi di salah satu sudut, sedangkan kursi yang berhadapan dengannya ditempati oleh seorang pria lajang yang mereka anggap aneh. Ketiga anak tersebut seakan-akan memberikan penegasan bahwa merekalah sang pemilik kompartemen.

Baik sang bibi maupun ketiga anak tersebut jarang mempercakapkan sesuatu hal. Sering bibi mereka mengatakan “Jangan,” dan ketiga anak itu hampir selalu mengatakan “Mengapa ?” Pria itu juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Jangan, Cyril, jangan,” sergah sang bibi ketika anak laki-laki itu memukul-mukul bantal kursi, menyebabkan debu-debu beterbangan.

“Kemarilah kalian, lihat ke jendela,” kata sang bibi kepada mereka.

Ketiga anak-anak tersebut dengan malas menatap ke jendela. “Mengapa domba-domba itu digembalakan keluar dari situ ?” tanya si anak laki-laki.

“Mungkin ada lebih banyak rumput di tanah lainnya,” jawab sang bibi dengan intonasi rendah.

“Tapi di situ kan ada banyak rumput,” anak laki-laki itu protes; “Di situ hanya ada rumput. Bibi, ada begitu banyak rumput di situ.”

“Mungkin rumput di tempat yang lain malah lebih baik,” jawab sang bibi sekenanya.

“Mengapa rumput di tempat yang lain lebih baik ?” kata salah satu dari mereka. Pertanyaan itu sungguh tidak diduga.

“Oh, coba lihat sapi-sapi itu !” seru sang bibi. Hampir di setiap tempat di lahan tersebut terdapat sapi-sapi baik jantan maupun betina. Sang bibi seakan-akan mengalihkan pembicaraan.

“Bibi, Mengapa rumput di tanah yang lain malah lebih baik ?” kali ini Cyril menanyakan sekali lagi dengan teguhnya.

Wajah pria lajang itu mulai mengerut. Dia adalah seorang pria yang keras, seorang yang tidak simpatik, itu menurut penilaian sang bibi. Sang bibi sama sekali tidak dapat memberikan penjelasan mengenai pertanyaan Cyril tadi.

Gadis yang lebih kecil dengan seketika mencairkan suasana. Ia mulai menyanyikan “Road to Mandalay”. Tapi dia hanya tahu baris pertama saja, selebihnya dia mendendangkan sejauh yang ia tahu. Dia nyanyikan baris tersebut berulang-ulang dan terus-menerus, membuat pria lajang itu berpikir seakan-akan ada seseorang yang bertaruh dengan gadis kecil itu bahwa dia pasti tidak akan dapat melakukannya dua ribu kali tanpa henti. Tapi ternyata orang tersebut kalah.

“Kemarilah kalian semua, Bibi hendak menceritakan sesuatu,” kata sang bibi. Pria itu menatapnya dua kali dan sesaat pembicaraan itu dimulai.

Ketiga anak tersebut dengan rasa malas menerima ajakan bibinya mendekat ke arahnya. Jelas terbukti reputasinya sebagai seorang pendongeng tidak sebaik yang ia kira.

Dengan suara yang rendah dan meyakinkan, namun diselingi dengan beberapa jeda interupsi dan beberapa pertanyaan yang tidak sabar dari ketiga keponakannya, dia mulai berkisah tentang seorang gadis kecil yang baik yang berkawan dengan setiap orang. Pada akhirnya gadis kecil tersebut diselamatkan dari seekor sapi jantan yang sedang mengamuk oleh beberapa orang penyelamat yang kagum dengan moralnya yang begitu mulia.

“Apakah mereka akan menyelamatkan gadis itu jika gadis itu memiliki perangai yang jelek ?” tanya keponakan perempuannya yang lebih besar. Pertanyaan itu sebenarnya juga hendak diajukan oleh pria lajang itu.

“Ya, tentu saja” jawab sang bibi ragu,”tapi Bibi pikir mereka pasti akan berlari cukup cepat untuk menolong gadis itu meskipun mereka tidak sungguh-sungguh menyukainya.”

“Itu kisah paling bodoh yang pernah kudengarkan,” kata gadis yang lebih besar.

“Aku tidak mendengarkannya setelah bagian yang pertama, kisah itu sangat menggelikan,” kata Cyril.

Gadis yang lebih kecil tidak memberikan sepatah komentar pun tentang kisah itu, tapi dia mulai mendendangkan lagi satu baris yang tadi ia nyanyikan.

“Kau nampaknya tidak akan berhasil menjadi seorang pendongeng,” kata pria lajang itu dari sudut sana secara tiba-tiba.

Sang bibi sontak terkejut.

“Sungguh hal yang sulit untuk menceritakan sebuah kisah yang anak-anak dapat memahami sekaligus menghargainya,” kata sang bibi dengan nada kaku.

“Saya tidak setuju dengan pendapat Anda,” kata pria itu.

“Apakah Anda akan menceritakan kepada mereka sebuah cerita ?” cibir sang bibi.

“Beri kami cerita,” gadis yang lebih besar merajuk.

“Pada suatu ketika,” pria lajang itu memulai kisahnya,”ada seorang gadis kecil bernama Bertha yang sangat luar biasa baik.”

“Dia melakukan semua yang dia katakan, dia selalu dapat dipercaya, pakaiannya selalu bersih, rajin belajar dan seorang anak yang santun dalam bersikap.”

“Apakah dia cantik ?” kata anak gadis yang lebih besar.

“Tidak secantik dirimu,” kata pria lajang itu,”tapi kebaikannya sungguh mengerikan.”

Ada sesuatu yang aneh dalam kalimatnya. Kata ‘mengerikan’ yang dikaitkan dengan kebaikan adalah suatu hal yang tidak lazim digunakan. Seakan-akan mencoba menunjukkan suatu pemahaman lain yang tidak ada pada kisah yang diceritakan oleh sang bibi.

“Dia begitu baik,” lanjutnya, “dia memenangkan beberapa medali kebaikan yang selalu dipakainya yang dikaitkan pada bajunya. Ada medali kepatuhan, lalu medali ketepatan waktu dan yang ketiga medali untuk tingkah laku yang terpuji. Medali-medali tersebut terbuat dari besi yang besar dan saling berdentingan satu dengan lainnya ketika ia berjalan. Tidak ada seorang anak di kotanya yang memiliki medali sebanyak yang ia punya. Jadi setiap orang tahu bahwa ia pasti adalah seorang gadis yang sangat luar biasa baik.”

“Sungguh gadis yang sangat baik,” kata Cyril.

“Setiap orang berbicara tentang kebaikannya, sampai sang Pangeran negeri itu mendengarnya. Pangeran mengatakan karena Bertha adalah anak yang sangat baik maka ia diijinkan untuk berjalan-jalan di tamannya sekali dalam seminggu. Taman itu terletak di luar kota. Taman itu sangat indah namun tak ada satu anak pun boleh mengunjunginya. Jadi itu adalah penghargaan terbesar bagi Bertha dapat mengunjungi taman itu.”

“Apakah terdapat domba di taman itu ?” tanya Cyril.

“Tidak,” kata pria itu,”tidak ada domba sama sekali.”

”Mengapa tidak ada domba di sana ?” satu lagi pertanyaan dilontarkan.

Sang bibi menyunggingkan senyum yang meremehkan.

“Tidak ada domba di taman itu,” kata si pria itu,”karena ibu sang Pangeran pernah bermimpi bahwa anaknya tewas oleh seekor domba atau sebuah jam yang jatuh menimpanya. Karena itu sang Pangeran tidak pernah memelihara domba di taman ataupun menempatkan sebuah jam di istananya.

Sang bibi sejenak terkejut dengan penjelasan pria itu.

“Apakah sang Pangeran tewas oleh seekor domba atau sebuah jam ?” tanya Cyril.

“Dia tetap hidup, jadi kita tidak dapat mengatakannya apakah mimpi itu menjadi kenyataan,” kata pria itu tanpa merasa risau, ”begini, tidak ada domba di tamannya, namun ada banyak sekali babi berkeliaran di taman itu.”

“Apakah warna babi itu ?”

“Hitam dengan wajah berwarna putih, ada pula yang berwarna putih dengan bintik-bintik hitam, lalu ada yang semuanya hitam, kemudian abu-abu dengan belang berwarna putih, dan beberapa malah berwarna putih semuanya"

Sang pendongeng menghentikan sejenak kisahnya agar seluruh idenya tentang harta karun di taman itu meresap ke dalam alam khayal anak-anak; lalu dia meneruskan kisahnya;

“Bertha sedikit kecewa karena tidak terdapat bunga-bunga di taman itu. Lalu dengan air mata yang meleleh di pipinya ia berjanji kepada bibinya bahwa ia tidak akan memetik bunga-bunga di taman sang Pangeran, dan ia akan memegang teguh janjinya itu. Tentu saja itu membuatnya merasa bodoh karena ia tidak menemukan satu pun bunga-bunga untuk dipetik di taman itu.”

“Mengapa tidak ada satu pun bunga ?”

“Karena babi-babi itu sudah memakannya semua,” jawab pria itu dengan cepat. “Orang yang bertugas mengurusi taman mengatakan kepada sang Pangeran bahwa ia tidak dapat memiliki babi dan bunga sekaligus, jadi sang Pangeran memutuskan untuk memiliki babi, bukan bunga.”

“Ada banyak hal yang sangat menyenangkan di taman itu. Ada danau dimana terdapat ikan berwarna emas, biru dan hijau didalamnya, dan pepohonan dengan burung-burung beo yang cantik yang selalu mengatakan hal-hal yang baik, dan kicauan burung-burung yang mendendangkan lagu-lagu yang disukai oleh banyak orang. Bertha berjalan naik dan turun melintasi taman. Ia menikmati perjalanannya dengan hati gembira. Ia membayangkan: ‘Seandainya aku bukan seorang anak yang luar biasa baik maka aku pasti tidak akan diijinkan memasuki taman ini dan menikmati seluruh keindahannya,’ sementara tiga medalinya berdentingan satu dengan yang lainnya ketika ia berjalan, mengingatkannya bahwa ia memang seorang anak yang sangat baik.”

“Tiba-tiba ada seekor serigala yang sedang lapar berkeliling mencari mangsa memasuki taman dan mengamati babi-babi kecil yang gemuk itu untuk makan malamnya.”

“Apakah warna serigala itu ?” tanya anak-anak itu, yang sedang terbuai dengan kisah tersebut.

“Semuanya berwarna seperti lumpur, dengan lidah berwarna hitam dan mata abu-abu pucatnya memancarkan keganasan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang pertama kali dilihat oleh serigala itu ialah Bertha. Serigala itu memandang dari kejauhan pakaiannya yang begitu putih dan bersih. Bertha melihat serigala itu dan sangat terkejut ketika tiba-tiba serigala itu sudah muncul di hadapannya. Lalu Bertha berlari dengan cepat secepat yang ia mampu, sementara serigala itu mengejarnya dengan langkahnya yang lebar. Bertha mampu mencapai semak-semak dan dia bersembunyi di sela-sela semak yang paling rimbun. Serigala itu lalu datang dengan mengendus ranting semak. Lidahnya yang hitam menggantung di mulutnya dan mata abu-abunya yang pucat menyiratkan kemarahan. Bertha sangat ketakutan, ia membayangkan: ‘Seandainya aku bukan anak yang luar biasa baik aku pasti akan selamat karena berada di kota saat ini.’ Bau semak-semak itu begitu tajam sehingga serigala itu tidak dapat mengendus untuk mengetahui dimana Bertha bersembunyi. Lagipula semak-semak itu begitu rimbun yang akan membuat ia begitu lama bersusah payah memburu tanpa bisa menangkap gadis kecil itu. Jadi serigala itu berpikir lebih baik ia keluar dari situ dan menangkap babi kecil saja. Bertha menggigil ketakutan ketika serigala itu berkeliaran dan mengendus-endus di dekatnya, dan ketika dia menggigil ketakutan itulah medalinya berdentingan satu dengan yang lainnya. Sebenarnya serigala itu sudah hendak pergi meninggalkannya. Ketika ia mendengar suara dentingan medali, seketika serigala itu berhenti untuk mendengarkan dengan lebih seksama. Medali itu berdentingan lagi di sebuah semak didekatnya. Lalu dengan cepat serigala itu menerobos masuk ke dalam semak-semak. Mata abu-abunya yang pucat menyiratkan kemarahan dan kemenangan. Ia memaksa Bertha keluar dari semak-semak itu, kemudian melahapnya hingga potongan terakhir. Yang tersisa hanya sepatunya, beberapa sobekan bajunya dan tiga medali kebaikannya.”

“Apakah ada babi kecil yang mati ?”

“Tidak ada satu pun babi kecil mati karena mereka berlari menyelamatkan diri.”

“Mulanya kisah itu tidak menarik,” kata gadis yang lebih kecil,”tetapi bagian penutupnya begitu bagus”

“Ini adalah cerita terbaik yang pernah aku dengarkan,” kata gadis yang lebih besar, dengan penuh sukacita.

“Ini bahkan satu-satunya cerita terbaik yang pernah aku dengarkan,” kata Cyril.

Pendapat yang berbeda datang dari sang bibi.

“Kisah itu tidak patut diceritakan pada anak-anak ! Kau merusak hasil kerja pendidikan yang telah dilakukan dengan hati-hati selama bertahun-tahun.”

“Kelebihannya,” kata pria lajang itu, sambil menyiapkan barang-barang bawaannya untuk segera meninggalkan gerbong kereta,” saya telah membuat mereka terdiam dalam sepuluh menit, itu lebih lama daripada yang Anda lakukan.”

“Dasar wanita yang tidak berbahagia !” gumam pria itu seraya berjalan turun ke peron di stasiun Templecombe; “setelah ini anak-anak itu pasti akan menyerangnya bertubi-tubi di depan orang lain meminta dongeng yang ia anggap tidak patut untuk diceritakan !”

====================================

Diterjemahkan oleh Gatot Tri R. dari naskah asli berjudul "The Story-Teller" dalam The Short Story Classics: The Best from the Masters of the Genre

Tidak ada komentar:

Posting Komentar