Senin, 14 September 2009

Perpustakaan Publik Idaman Masyarakat



Menyambut Hari Kunjung Perpustakaan 14 September 2009

oleh: Gatot Tri R.

Setiap tanggal 14 September diperingati sebagai Hari Kunjung Perpustakaan. Ini merupakan salah satu bentuk perhatian dari pemerintah terhadap lembaga perpustakaan, khususnya perpustakaan publik, agar dapat melayani masyarakat secara lebih baik. Sebenarnya bukan pada tanggal itu saja pemerintah memberikan perhatian khusus berkaitan dengan perpustakaan. Sejak tahun 1995, bulan September ditetapkan sebagai Bulan Gemar Membaca. Lalu pada 17 Mei 2006 silam, bertepatan dengan Hari Buku Nasional, dicanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan Di Masyarakat oleh Presiden Republik Indonesia. Lalu setahun kemudian, pada tahun 2007 telah disahkan Undang-Undang No.43 tentang Perpustakaan. Serta sejumlah instrumen lainnya baik dari pemerintah pusat maupun daerah yang mendukung iklim perpustakaan di Indonesia agar lebih baik.

Begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap perpustakaan. Ini karena perpustakaan - terutama perpustakaan publik - merupakan lembaga penyedia informasi untuk umum, jembatan kepada ilmu pengetahuan, serta sarana belajar sepanjang hayat bagi seluruh masyarakat tanpa memandang usia, status, jenis kelamin, suku, maupun agama.

Perpustakaan publik juga merupakan investasi jangka panjang dalam upaya mind-building masyarakat serta membantu upaya pemberantasan buta huruf (Data Global Monitoring Report 2006 menempatkan Indonesia berada di peringkat ketujuh banyaknya populasi buta huruf, yaitu sekira 15 juta orang). Selain itu perpustakaan publik berperan penting dalam upaya peningkatan minat baca - sehingga mengurangi terjadinya kesenjangan informasi; serta sebagai lembaga pelestari kebudayaan lokal. Di negara maju di benua Amerika dan Eropa, perpustakaan publik bahkan menjadi pengawal prinsip-prinsip kebebasan demokrasi, kesetaraan dan hak asasi manusia.

Kenyataannya di Indonesia, perpustakaan rupanya masih jauh dari citra ideal – jauh dari harapan sebagai pusat informasi dan pengetahuan yang layak bagi masyarakat. Saputro dalam Kompas (14 Sept 2004) pernah mengulas bahwa 90 persen perpustakaan di Indonesia belum memiliki infrastruktur lengkap dalam hal sumber daya manusia, anggaran maupun sarana dan prasarana. Ini direpresentasikan dengan jumlah buku yang terbatas, penataan ruang yang kurang nyaman serta kurangnya visi pustakawan sehingga perpustakaan tidak menarik untuk dikunjungi.

Perpustakaan publik hendaknya menjadi fasilitas ideal yang mampu memenuhi harapan masyarakat. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, baik dari pemerintah maupun lembaga perpustakaan.

Pertama, adanya anggaran yang cukup dan memadai. Tidak dipungkiri bahwa anggaran yang memadai berdampak pada kualitas layanan perpustakaan publik. Namun kenyataanya, anggaran yang diterima kurang atau bahkan minim. Padahal upaya peningkatan pengadaan buku serta kualitas layanan mesti dilakukan terus-menerus. Tanpa ditopang dana yang cukup, maka kegiatan operasional perpustakaan kurang berjalan optimal. Hal ini dialami oleh mayoritas perpustakaan publik di Indonesia. Pada tahun 2005, Perpustakaan Daerah Istimewa Jogjakarta misalnya, hanya menerima dana pengadaan buku Rp 70 juta. Sementara Perpustakaan Kabupaten Kutai Kertanegara bahkan tidak ada dana untuk membeli buku. Padahal APBD salah satu kabupaten terkaya di Indonesia itu lebih dari Rp 3,4 triliun (Kompas.com, 17 Juli 2006). Perpustakaan cenderung berada di urutan terbawah pada kebijakan belanja pemerintahan. Itulah mengapa perkembangan perpustakaan di Indonesia seakan berjalan di tempat.

Kedua, adanya kebijakan buku murah dari pemerintah. Harga buku oleh sebagian besar masyarakat termasuk perpustakaan dirasa mahal sehingga tidak setiap orang mampu membeli buku. Buku masih menjadi barang mewah. Bahkan harga buku di Indonesia masih lebih mahal daripada India. Di negeri Bollywood ini, pemerintah setempat sudah menghapus pajak kertas dan pertambahan nilai untuk penerbitan buku. Sehingga buku terbitan luar seperti Amerika atau Inggris dapat dibeli dengan harga sepersepuluh dari harga di negara asalnya.

Jika pemerintah menetapkan kebijakan buku murah, maka perpustakaan publik dapat membangun koleksi pustaka yang lebih lengkap. Saat ini perpustakaan publik memikul beban cukup berat. Dengan alokasi anggaran yang “bersaing” dengan kebutuhan lainnya, ditambah mahalnya harga buku, perpustakaan publik dituntut untuk menyediakan koleksi buku yang lengkap dan memadai. Ironisnya, tingkat keterpakaian koleksi perpustakaan juga tidak optimal. Sedikit menilik data Perpustakaan Kota Surabaya tahun 2005, koleksi buku yang dimiliki lebih dari 17 ribu eksemplar. Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Surabaya yang 2,7 juta jiwa, maka ditemukan rasio 1:158. Artinya satu buku dibaca oleh 158 orang. Sementara jumlah kunjungan ke perpustakaan pada tahun 2005 sekira 71 ribu kunjungan yang artinya baru sekira 2,6 persen warga Surabaya yang memanfaatkan fasilitas ini.

Bandingkan dengan Perpustakan Kota Isafjordur di Republik Islandia – negara pulau di barat laut Eropa di perairan Atlantik utara. Di kota berpenduduk 4000an jiwa itu (99,99 persen warganya bebas buta huruf), perpustakaan kotanya memiliki koleksi buku lebih dari 76 ribu eksemplar. Itu hanya di perpustakaan utamanya saja. Di tiga perpustakaan cabangnya terhimpun lebih dari 31 ribu buku. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka satu orang malah mendapat “jatah” membaca 26 buku. Angka perbandingan ini jauh berkebalikan dengan kondisi Surabaya. Sementara jumlah kunjungan masyarakat ke perpustakaan per tahun mencapai 20 ribu kunjungan, yang artinya dalam setahun satu orang berkunjung sebanyak lima kali.

Ketiga, sarana prasarana memadai yang nyaman. Perpustakaan yang nyaman, bersih dan tenang kadang masih jauh dari harapan, seperti: ruang koleksi pustaka yang berdebu, meja dan kursi di ruang baca yang kurang nyaman, sampai ke persoalan toilet yang kurang berfungsi dengan baik. Kadang pengunjung juga merasa gerah ketika berada di perpustakaan. Karena itu pengelolaan sarana prasarana perpustakaan perlu dilakukan dengan cermat, misalnya menyediakan ruang dan rak buku yang cukup, menyediakan kursi dan meja baca yang sesuai dengan ergonomi, menyediakan penyejuk udara (AC), dan sebagainya. Perpustakaan Nasional RI sebenarnya telah menyusun instrumen Standar Perpustakaan Kabupaten / Kota sebagai pedoman pengelolaan perpustakaan publik yang dapat menjadi acuan dasar dalam pengelolaan perpustakaan publik di kota atau kabupaten. Namun semua itu bergantung juga pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing perpustakaan. Namun pada prinsipnya, aspek pelayanan kepada masyarakat seyogyanya lebih dikedepankan.

Selain itu, perpustakaan publik juga teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK di perpustakaan publik terkesan kurang optimal. Jarang perpustakaan publik punya sarana komputer untuk penelusuran pustaka. Padahal teknologi perangkat lunak untuk sistem penelusuran bibliografis untuk perpustakaan sudah semakin canggihnya baik yang gratisan maupun berbayar. Fasilitas internet di perpustakaan umumnya juga terbatas, kadang dengan bandwith yang kurang memadai sehingga akses internet lambat. Jika ada gangguan tidak bisa langsung ditangani sehingga harus tutup sampai beberapa waktu lamanya. Ini pernah dialami oleh perpustakaan Badan Perpustakaan Propinsi Jawa Timur beberapa waktu lalu. Rasanya penerapan ISO 9001:2001 (standarisasi pelayanan publik yang berbasis kinerja internasional) perlu diterapkan di seluruh perpustakaan publik demi pelayanan yang optimal kepada masyarakat serta pemenuhan hak masyarakat akan perpustakaan yang ideal.

Hal keempat ialah adanya layanan informasi. Sebagai pusat informasi, sudah seharusnya perpustakaan publik menjalankan perannya sebagai penyedia sumber informasi utama (information provider) bagi masyarakat. Pustakawan perpustakaan publik sebagai information intermediary juga mesti mampu menunjukkan keahlian dan kemampuan profesionalnya dalam menjawab kebutuhan informasi masyarakat. Tentu saja dengan layanan ramah bak teller bank. Namun yang sering terjadi, justru layanan peminjaman dan pengembalian buku yang menjadi titik berat layanan perpustakaan publik. Lantas apa bedanya perpustakaan publik dengan persewaan novel atau komik? Perpustakaan publik mestinya sadar bahwa ia menyimpan “tambang” berharga yaitu pengetahuan dengan topik yang luas yang harus dilayankan kepada masyarakat, salah satunya ialah lewat jasa informasi. Sayangnya poin ini tidak ditekankan dalam Standar Perpustakaan Kabupaten / Kota yang disusun oleh Perpusnas RI yang disusun tahun 2002. Kalau pun layanan ini diadakan oleh sejumlah perpustakaan, promosi adanya layanan ini kurang memadai sehingga masyarakat . Sekali lagi penulis memberikan contoh Perpustakaan Kota Isafjordur di Islandia yang dalam setahun melayani hingga 9.000 permintaan informasi dari masyarakat. Itu berarti sekitar 24 permintaan informasi setiap hari. Para pustakawannya selalu siap melayani setiap permintaan informasi yang masuk. Penulis pernah mengajukan permintaan informasi mengenai sesuatu hal kepada perpustakaan melalui email. Dalam waktu tidak lama – tentunya disesuaikan dengan perbedaan waktu Indonesia dengan waktu Islandia - salah seorang pustakawannya membalas dengan jawaban cukup lengkap dan memuaskan. Bahkan, sang pustakawan tidak segan-segan melakukan riset informasi di internet dan menyampaikan hasilnya kepada penulis. Padahal penulis bukan warga kota Isafjordur dan berada di ribuan kilometer jauhnya dari sana.

Kelima, promosi perpustakaan secara lebih intensif dan berkelanjutan. Promosi merupakan salah satu “amunisi” penting guna meningkatkan awareness warga masyarakat terhadap perpustakaan. Pengelola perpustakaan mesti kreatif misalnya menempatkan tenaga pemasaran perpustakaan layaknya pemasar profesional, atau mencantumkan nomor telepon perpustakaan sebagai salah satu nomor penting dalam buku petunjuk telepon. Begitu pula dengan penyebaran brosur atau iklan berisi informasi layanan perpustakaan bagi warga, serta even-even promosional lainnya Ada satu hal dalam pengamatan saya, dalam hal promosi, perpustakaan umum selama ini lebih menyibukkan diri dengan even festival atau pameran buku yang menurut saya alih-alih sebagai sarana promosi layanan perpustakaan atau meningkatkan gairah membaca masyarakat, malah mungkin keuntungan penjualan bukulah yang menjadi target utama. Kalau kita amati, siapa yang datang ke pameran buku? Pastilah orang-orang mampu ketimbang orang-orang kalangan marginal ekonomi lemah yang justru menjadi sasaran utama dalam pembinaan minat baca masyarakat dan pemberantasan buta huruf.

Keenam, sinergi dengan berbagai pihak seperti sekolah, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi, dan lain-lain. Bisa juga sinergi dilakukan bersama dengan kelompok pecinta buku, kelompok sahabat perpustakaan, ikatan penulis, ikatan penerbit dan lain-lain. Melalui sinergi ini perpustakaan dapat memperoleh input berguna berkaitan dengan peningkatan layanan, misalnya perpustakaan dapat mengetahui kebutuhan ataupun harapan masyarakat akan perpustakaan ideal yang ada di benak masyarakat. Sinergi juga akan mempertebal citra perpustakaan publik sebagai pusat informasi utama masyarakat. Jaringan kerjasama antar perpustakaan publik juga perlu ditingkatkan guna mendukung layanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Akhirnya, perlu itikad baik dalam menyelenggarakan perpustakaan publik yang ideal yang mampu memenuhi harapan masyarakat. Selain sudah ada political will dari pemerintah melalui berbagai instrumen perundangan dan peraturan, lembaga perpustakaan publik sendiri harus menyadari posisi pentingnya sebagai pusat informasi utama bagi masyarakat sehingga perpustakaan terus berusaha berbenah diri. Harapannya, semoga di masa depan perpustakaan publik ideal idaman masyarakat tumbuh di lingkungan masyarakat di setiap wilayah di Indonesia.

4 komentar:

  1. terima kasih atas tulisannya...

    BalasHapus
  2. Wah...keren Om Gatot tulisane, inspiratif..

    selamat hari Kunjung Perpus..dan menyambut
    unjung2 Riyayan/lebaran.

    BalasHapus
  3. Thanx Mas Didik. BTW, selamat mudik juga. mudik ke Tangerang kan? :)

    BalasHapus
  4. wow ini baru artikel

    BalasHapus